Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Melihat realitanya di negara kita ini
(indonesia) Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan
peningkatan kualitas pembelajaran, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai
orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Parahnya
lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan
formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam
Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi
kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan
perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih
dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan
perguruan tinggi.
Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya
kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem
pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada
beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional.
Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan sulit bertambah.
Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya insani nasional yang
terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Pendidikan
memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran yang baik dan lebih baik. Di
pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula makanan bagi murid yang lapar agar
mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas semua itu pendidikan memerlukan
hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, yakni gagasan dan keberanian,
keputusan, keinginan baru untuk mengetahui kemampuan diri yang diperkuat oleh
suatu keinginan untuk berubah dan bereksperimen (Coombs, 1968 : 15).
Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF)
merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu
layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF
sangat beragam, yaitu meliputi:
(1) pendidikan kecakapan hidup,
(2) pendidikan anak usia dini,
(3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan
C,
(4) pendidikan keaksaraan,
(5) pendidikan pemberdayaan perempuan,
(6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja
(kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta
(7)
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena
bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan
ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar
kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu,
upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi
ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan
bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga
pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki.
Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan
pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila
belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus
dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak
hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan
tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga
pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap
menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan
tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan
seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa
kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa
misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam
menghadapi persaingan di era globalisasi.
Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan Non
Formal terdiri dari kursus; lembaga
pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis
taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu,
dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).
Sasaran Pendidikan Non Formal
dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus,
pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan,
sasaran Pendidikan Non Formal adalah
melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun),
anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24
tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non Formal mendidik anak terlantar, anak yatim piatu,
korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh. Dari
segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan
keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Di
segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal antara lain membantu masyarakat melalui
program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah
tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran
Pendidikan Non Formal Sebagai
penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga
pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu
menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi
pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa
tempat kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Non Formal ditinjau dari segi pelembagaan, yakni
kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program
pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program
pembangunan.
Isi
dari program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada
kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana
menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan
peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal,
hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta
didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal pun relative lebih fleksibel, artinya
diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan
Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah
Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak
Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus
Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi dan Damayanti, Dwi Retna. 2005.
Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo.
Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar
Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur
Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta.
Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan
Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar